Bendera empat warna dalam sebuah kegiatan Konkurs Seni Suara Alam Burung Perkutut, kini tak bisa lagi ditemui. Kenyataan ini seakan menjadi pertanyaan besar, mengapa hal itu terjadi. Apakah karena faktor burung yang memang belum ada atau ada kendala lain yang menyebabkan semua itu harus dialami.

Beberapa perawat handal memberikan komentar seputar krisis bendera empat warna yang melanda hobi perkutut tanah air. H.Cholil Menganti Gresik mengaku bahwa yang menjadi penyebab tidak adanya bendera empat warna di arena disebabkan oleh aturan itu sendiri. “Karena aturannya kurang memenuhi syarat, sehingga tidak ada burung yang bisa mencapai empat warna,” terang H.Cholil.
Lebih lanjut disampaikan bahwa jangankan burung empat warna, burung lima warna itu ada. Namun selama aturan itu masih diberlakukan, maka tidak akan pernah ada burung yang bisa mencapai bendera empat warna. “Kalau dulu dari dorong sudah ada hitungan, sehingga jangankan 7 kali bunyi, 12 kali bunyi pasti bisa,” sambung pemllik HDL BF Menganti.
Masih menurut H.Cholil, jika aturan dulu diberlakukan, maka jangankan untuk mencari burung empat warna, burung dengan nilai bendera lima warna, maka akan bisa ditemukan. “Menurut pendapat saya, lebih baik aturan penjurian dikembalikan ke yang dulu, maka akan muncul burung empat dan lima warna,” jelas peternak dan perawat yang sudah banyak melahirkan dan mengorbitkan jawara level nasional.

Ditambahkan pula bahwa saat ini burung mentok tiga warna hitam, itupun jarang dijumpai. Bahkan dengan nilai tiga warna, maka burung bisa menjadi juara pertama. “Buat apa ada Dewan, kalau burung mentok 3 warna. Kan eman panitia sudah ngeluarin anggaran untuk mereka,” ungkap H.Cholil lagi.
Disampaikan pula bahwa ada rasa tidak suka dengan adanya usulan koncer, karena hal itu memicu teriakan peserta yang melebihi batas. “Kembalikan seperti semula, juri ngasih kertas dan di berikan ke koordinator, kemudian koordinator ngasih kertas ke dewan. Gak usah bunyi 7 kali, tapi bunyi 12 seperti dulu, tidak perlu di kasih waktu detik,” tambah H.Cholil.
Deny, perawat asal Sampang Madura memberikan komentar seputar tidak adanya bendera empat warna. ”Untuk saat ini untuk bisa memenuhi kriteria penjurian burung dapat empat warna, memang belum ada. Hal ini berkaitan dengan burung mewah, dimana tingkat kestabilan,” terang Deny.
Lebih lanjut disampaikan bahwa untuk penilaian 2 warna hitam sampai 3 warna, itu burung bisa bunyi stabil, tapi kalau sampai 4 warna itu adalah burung mewah. “Bayangkan saja burung mewah suruh bunyi stabil. Ada kesulitan untuk 4 warna, selain faktor burung karena burung mewah pasti punya salah,” ungkap Deny.

Faktor burung itu sendiri dan rawatan, menjadi penentu dalam meraih bendera tertinggi. “Syarat bunyi tidak terpenuhi artinya burung kurang gacor, jedah terlalu lama. Ini bisa karena cuaca dan rawatan,” sambung pria yang banyak mengorbitkan burung handal. Tidak jarang penampilan burung di luar prediksi bisa jadi karena faktor cuaca.
Cuaca berbeda bisa mempengaruhi performa burung. Banyak kemungkinan, feeling perawat juga sangat menentukan. Kadang umbaran gak cocok di tempat baru saat lomba di luar kota. atau kondisi di tempat baru lomba luar kota, tidak sesuai dengan kondisi di rumah, bisa menjadi penyebab burung tidak mau tampil.
Namun demikian, itu semua menjadi tantangan tersendiri perawat. Selain burung mewah juga harus rajin bunyi dan memenuhi syarat. “Sebenarnya burung 3 warna hitam itu sudah 4 warna,” ungkap Deny lagi. Hairul Umam, perawat handal asal Pamekasan Madura memberikan pernyataan.
“Saat ini burung dengan pukulan 4 warna ada, setelah 3 warna diusulkan karena syarat bunyi yang kurang. Bunyi 7 kali dikasih toleransi bunyi atau kesempatan 9 kali, kalau tidak bisa maka dikembalikan. Menurut saya dilonggarkan aturan itu. Untuk perawat mengkondisikan hal itu berat, karena burung tidak semudah itu membunyikan,” jelas Hairul Umam.

Ditambahkan bahwa kalau hanya bunyi 5 kali tidak masalah. “Ini menjadi PR terberat untuk perawat. Kerja maksimal 7 kali yang sulit, kalau cuma bunyi biasa, gak masalah. Burung perkutut seperti sekarang ini bagi perawat sangat berat, suruh bunyi istimewa berturut turut, sangar berat, disuruh gacor pasti tidak bisa, pasti ada masalah, misal ujung tidak keluar,” ungkap Umam.
Namun demikian, Hairul Umam melihat sisi positif bahwa dengan adanya aturan seperti ini maka burung dengan bendera 3 warna bisa juara 1. Setidaknya ini menjadi PR juga bagi peternak untuk menghasilkan burung lebih bagus namun mampu tampil stabil di arena konkurs, sehingga peluang menjadi juara, bisa terbuka lebar.
“Harusnya perawat tidak boleh mengeluh. Jadikan ini sebuah tantangan untuk bisa meraih hasil sesuai aturan. Demi P3SI, apapun saya lakukan,” tegas pria yang memiliki keluarga sebagai perawat. Yang penting bagi Umam adalah peningkatan kualitas pengadil dan tidak boleh ada ada intervensi dari Dewan Pengawas.
“Ketika mau naik ke 4 warna harus sepengetahuan dewan pengawas, karena menurut saya Dewan Pengawas hanya mengawasi jalannya lomba agar bisa berjalan dengan tertib,” kata Umam lagi. H.Roy Fajri Sumedang, melontarkan pernyataan bahwa saat ini dituntut agar burung istimewa harus bunyi bagus dan stabil.

“Kalau sekarang berat pakai 3-5-7, syarat bunyi berat. Tujuh kali bunyi bagus berat, paling dapat 3 warna hitam itu sudah mentok. Karena burung harus mengeluarkan suara bagusnya, padahal burung dewasa ingin keluar bagusnya maka harus ditahan, ngesla-ngesla, tapi itu akan berpengaruh pada syarat bunyi. Kalau rajin maka kualitas akan menurun,” papar H.Roy.
Disampaikan juga bahwa factor burung itu sendiri dan rawatan akan mempengaruhi performa di lapangan. “Faktor burung menjadi dominan, burung bagus harus dimaksimalkan dengan perawatan yang benar. Sedangkan kualitas suara tidak bisa diakalin,” ungkap salah satu skuad Team Primarasa Bandung.
Fauzi, perawat handal asal Surabaya menyampaikan pernyataan bahwa krisis bendera empat warna di arena disebabkan oleh syarat bunyi yang kurang meski sebenarnya secara kualitas burung memiliki potensi kesana. ”Saya kira aturan sudah bagus, tinggal mengkondisikan burung agar mau bunyi dengan rajin sehingga memenuhi syarat,” jelas Fauzi.
Salah satu upaya yang selama ini dilakukan untuk mengkondisikan burung agar mau tampil adalah faktor birahi. “Kurang rajin bunyi bisa terjadi karena birahi kurang pas, sehingga bunyi kurang maksimal. Ada kalanya di babak pertama mau bunyi, namun babak selanjutnya tidak mau bunyi,” urai perawat Rupawan, perkutut berprestasi.

Saat ini Fauzi mengaku masih kesulitan dalam mengatur birahi burung. sebab jika terlalu birahi maka burung tidak mau bunyi, begitu sebaliknya terlalu birahi juga tidak mau tampil. Selain itu mental burung menjadi kriteria yang harus juga dimiliki agar ketika di arena, mau bunyi maksimal.
“Mental dan kualitas tetap utama selanjutnya tinggal perawatan. Cuaca juga harus di atur, agar bisa terkondisikan. Ini adalah sebuah tantangan buat perawat untuk mengkondisikan burung,” lanjut Fauzi. Berdasarkan pengalaman, nyetel burung untuk bisa tampil bagus, tidak semudah yang dibayangkan.
Semisal burung bisa tampil di daerah A, kemudian pada suatu ketika harus berlomba ke daerah tersebut, maka belum tentu pola rawatan yang pernah diberikan, bisa cocok dan membuat burung bisa kembali tampil. “Perawat adalah profesi yang tidak mengenal lelah, harus terus mencari solusi agar rawatannya mau tampil maksimal,” lanjut Fauzi lagi.
Bambang Kancil Bandung, mengatakan bahwa peraturan sudah bagus, namun harus diimbangi dengan pemahaman tentang soal keindahan suara burung perkutut. harus ada standar mana burung yang 3 warna dan mana burung yang 4 warna. Jika itu sudah dipahami, maka penjurian akan terlihat bagus.

Penjurian yang fair play dan tidak memihak ke salah satu peserta harus terus digaungkan sehingga kualitas lomba akan lebih terangkat. “Kalau ada juri, coordinator ataupun dewan yang milih-milih pemenang, maka orang itu jangan dipakai karena akan merusak sistem penjurian,” tegas komandan Team Primarasa Bandung.
Pria yang akrab dipanggil BK ini menyayangkan kalau ada nilai draw. “Buat apa ada juri dan dewan, mana tugasnya mereka karena tidak maksimal. Emang gak ada burung apa. Ini artinya bahwa tugas dewan tidak maksimal,” menurut pengamatan BK.
Bambang Kancil berharap, dipenghujung tahun ini, penjurian bisa lebih baik. “Saya berharap di akhir tahun, juri yang kurang berpotensi (bukan milih suara burung tapi milih pemilik burung), mending tidak dipakai. Serahkan ke BK. In syaa Allah BK amanah,” kata Bambang.