Tahun 2000 lalu Dardiansyah memutuskan untuk menjadi bagian komunitas hobi perkutut di Banjarmasin. Menjadi peternak adalah bentuk keseriusan yang dipilih. Tiga kandang berdiri meski ketika itu hanya berupa kandang gantung. “Awal saya membuat kandang adalah bentuk gantung dengan jumlah enam petak saja, karena ini adalah awal,” terang Dardiansyah.

Semangat untuk lebih menekuni ternak perkutut semakin tinggi ketika proses produksi berjalan lancar. Indukan yang dimiliki berhasil mengeluarkan anakan. Rasa senang dan bangga bisa menghasilkan anakan, membuat keinginan semakin bertambah. Sejak saat itu jumlah kandang ditambah menjadi enam petak.
Di tengah kondisi yang membuatnya senang, Dardiansyah tidak bisa lagi fokus memikirkan dan memantau perkembangan kandang ternak. Tanggungjawab Sebagai ASN di Pemerintahan Banjarmasin harus merelakan ternak dan memberikan perhatian penuh pada pekerjaan.

“Saya tidak bisa fokus untuk memikirkan ternak karena waktu tersita untuk pekerjaan. Berangkat pagi dan pulang malam. Libur saya hanya Sabtu dan Minggu. Itupun kadang harus masuk kerja dan juga ada acara keluarga,” ungkap mantan sekertaris Pengda Banjarmasin. Akhirnya Dita Bird Farm yang sudah dilakoni mengalami kondisi yang tidak diinginkan.
Kandang ternak dan penghuninya mulai tidak terurus. Yang penting ada makan dan minum, itu sudah dianggap perhatian yang bisa diberikan. Nah, saat masa pensiun dialami pada tahun 2022 lalu, Dardiansyah mulai aktif lagi untuk mengurus kandang ternak. Indukan sudah mulai mendapatkan perhatian.

Beberapa produk mulai muncul kembali. Kali ini kualitas yang dihasilkan lumayan bisa membuat nama Dita Bird Farm mampu tampil di lapangan sebagai peraih juara. Dita Ku Dita, Dita Perdana dan sederet nama lainnya menjadi produk unggulan yang berhasil menembus podium juara pertama dalam sebuah gelaran di Banjarmasin pada Kelas Piyik Hanging.
“Saya pernah punya burung ternakan sendiri, lomba di Banjarmasin dapat juara 1 Kelas Piyik Hanging,” sambung mantan juri Pengda Banjarmasin. Meski hanya sebatas prestasi di kelas piyik muda, namun ada rasa bangga yang dialami. “Saya baru bisa meraih juara di Kelas Piyik Hanging, untuk burung dewasa belum karena ternyata perawatannya tidak gampang,” kata Dardiansyah lagi.

Kenyataan ini menjadi PR yang harus segera dicarikan solusi agar bisa mengakhiri kondisi tanpa prestasi di kelas remaja atau dewasa. “Kalau produk ternak saya, ada yang lumayan untuk dibawa ke lomba, tapi selama ini tidak pernah mau bunyi, ini PR bagi saya untuk bisa segera mendapatkan solusi,” harap Ketua Bidang Peternakan dan Konservasi Pengwil Kalimantan Selatan.
Apalagi dengan sistem penjurian yang ketat saat ini, semakin berat untuk bisa membawa orbitannya ke podium prestasi. “Berat sistem penjurian saat ini dimana harus memenuhi syarat 3 -5 – 7. Tapi saya senang karena persaingan akan semakin ketat dan juri tidak bisa sembarang memberikan nilai,” kata Dardiansyah lagi.

Lebih lanjut disampaikan bahwa saat ini ada upaya untuk lebih mendalami soal perawatan burung agar bisa mengorbitkan produk sendiri pada posisi sebagai juara. “Ada keinginan untuk bisa merawat burung sendiri dan bisa tampil sebagai juara. Memang hal ini tidak mudah, tapi dengan banyak belajar dan bertanya, siapa tahu bisa menjadi keinginan yang terwujud,” harap Dardiansyah mengakhiri obrolan.