Salah satu indikasi bahwa sebuah gelaran konkurs seni suara alam burung perkutut dikatakan sukses adalah tidak adanya protes dari peserta terhadap hasil penjurian. Peserta bisa menerima keputusan para juru vonis dalam menilai mana yang seharusnya dimenangkan dan mana yang tidak.

Keputusan tersebut tentunya didasarkan pada kualitas burung itu sendiri dan bukan karena faktor kepemilikan atau kedekatan. Seperti dalam gelaran konkurs Liga Perkutut Indonesia #3 bertajuk Tugu Muda Cup Semarang yang digelar pada Sabtu dan Minggu, 10 – 11 Mei 2025 di Lapangan Royal Family.
Agenda tersebut menjadi pembuktian bahwa proses penjurian sudah mengarah pada kualitas yang lebih baik dari sebelumnya. Beberapa peserta yang hadir dan menyaksikan sekaligus merasakan secara langsung bagaimana kinerja korps juri menjalankan tugasnya dengan baik. Apresiasi diberikan oleh kung mania.
Meski ada beberapa catatan yang menjadi masukan untuk perbaikan yang lebih bagus lagi, setidaknya kinerja juri saat itu tentu menjadi kabar menyenangkan bagi perkembangan hobi perkutut tanah air. Dulu, juri yang selalu dinilai tidak mampu menjalankan tugasnya dengan adil, kini penilaian tersebut mulai tergerus seiring kinerja yang lebih baik.

Tuduhan miring yang disematkan pada juri, kini mulai memudar. Istilah kambing hitam yang selalu ditujukan pada juri, sepertinya tidak cocok lagi untuk disandangkan. Juri, kini mampu menjadi pihak yang benar-benar bisa diandalkan untuk menentukan posisi kejuaraan tanpa lagi membawa misi rahasia.
Juri, kini bisa menentukan siapa yang layak menyandang predikat jawara dengan pertimbangan berdasarkan kualitas dari burung itu sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi pada korps juri saat ini. wajar jika muncul pertanyaan seperti itu. Puswanto, juri nasional asal Sumenep Madura mengatakan bahwa saat ini koordinasi antar juri berjalan dengan baik.
Ketika memutuskan burung untuk memberikan nilai, mereka tidak terburu-buru, selalu diperhitungkan dengan matang sebelum menentukan nilai yang akan diberikan. “Kami selalu berkoordinasi di lapangan, kerjasama bagus dan selalu memutuskan burung dengan tidak terburu-buru,” terang Puswanto.

Lebih lanjut disampaikan bahwa kekurangan yang kemarin-kemarin terus dibenahi, sehingga menjadi lebih baik lagi. “Yang tidak kalah penting, adalah koordinasi. Tidak mentang-mentang karena posisi sebagai Dewan langsung memberikan keputusan. Semua dikoordinasikan dengan juri lain,” sambung juri yang akrab dipanggil Wawan.
Semisal ketika ada burung tiga warna naik, itu sebenarnya menjadi kewenangan Dewan, namun Dewan tetap berkoordinasi dengan koordinator meski sebenarnya koordinator tidak punya kewenangan untuk memberikan nilai tersebut. “Bukan untuk intervensi tapi untuk menyaksikan bahwa burung itu layak naik ke tiga warna lebih,” kata Wawan lagi.
Seperti kasus lainnya, ketika ada ada peserta yang ngotot minta naik, padahal tidak layak, maka Koordinator berkoordinasi dengan Dewan untuk sama-sama menyaksikan dan memantau, sehingga ada keputusan yang sama bahwa burung tersebut memang tidak layak untuk mendapatkan kenaikan nilai.
Menurut Puswanto, pada dasarnya saat ini juri sudah menjalankan Pakta Integritas, seperti hitungan sudah dinampakkan pada peserta. Bahasa tubuh juga sudah diperlihatkan oleh juri secara kompak dan seragam. Ada kode tertentu yang disampaikan juri pada peserta ketika ada burung yang bunyi.

Misalkan suara burung kurang depan, kurang tengah, kurang ujung dan seterusnya, sehingga peserta paham apa yang dimaksudkan. Ditambahkan pula bentuk kekompakan adalah saat menit-menit awal, Koordinator ikut bantu juri jika ada burung yang bunyi. Tujuannya bukan untuk mengintercensi, tetapi memberitahu kalau ada burung bunyi, sehingga perlu ditancapkan bendera. Hal ini bertujuan untuk meredam teriakan peserta.
Sueb, juri nasional asal Blega Bangkalan Madura mengaku bahwa Diklat Kejurian 2025 di Surabaya memberikan dampak yang luar biasa. “Hasil Diklat di Surabaya menghasilkan persamaan semua juri mulai dari ujung sampai barat di Indonesia. Semua satu suara. Ditambah lagi Pakta integritas yang membuat kerja juri santai dan tenang, peserta enak,” jelas Sueb.
Ditambahkan bahwa kehadiran Pakta Integritas sangat ampuh. “Terus terang Pakta Integritas memberikan dampak luar biasa. Saat ini juri satu suara, bahasa tubuh, hitungan yang ditandai dengan angkat jari. Ada persamaan persepsi. Sekarang sudah jelas semua dan kami tinggal melaksanakan di lapangan,” sambung Sueb.
Happy Kurniawan Juri Nasional asal Jember tidak menyangkal bahwa keberhasilan juri menjadi juru pengadil yang lebih baik berkat bimbingan pada Ketua Bidang Penjurian P3SI Pusat. “Berkat bimbingan Ketua Bidang Penjurian Pusat H.Gunawan MTG dan juga Pak Mahmud CTP. Mereka selalu peduli dan membantu kami dalam mengatasi masalah,” jelas Happy.
Ditambahkan pula bahwa Pakta Integritas menjadi acuan yang selalu dipakai ketika berada di dalam lapangan. “Efek Pakta Integritas memang luar biasa. Peserta paham dan juri melakoninya enak. Kerjasama dan koordinasi kami makin kompak karena kami adalah team work,” sambung Happy Kurniawan.

Tidak dipungkiri bahwa bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh juri saat berada di lapangan, sangat membantu memberikan pemahaman pada peserta. Hitungan dengan jari semakin menjadikan bobot penjurin bertambah baik. “Bahasa tubuh itu penting agar peserta paham apa yang kami maksudkan,” kata Happy lagi.
Moh.Sofyan Juri Senior asal Sampang Madura, mengaku bangga menjadi bagian dari kinerja juri yang dinilai mulai lebih baik. Saat turun di gelaran konkurs LPI #3 Tugu Muda Cup Semarang, Sofyan berusaha untuk bisa mengimbangi para seniornya. “Di Semarang baru pertama turun dan rasanya bangga. Burung nasional dan peternak besar tugas,” kata Sofyan.
Disampaikan pula bahwa tidak ada beban karena karena sudah sering bertugas di even lainnya. ”Intinya tenang dan fokus, jangan grogi. Peserta sebenarnya membantu kita saat panggil nomor sehingga kita diberitahu. Kalau ada yang maksa, saya tidak dengarkan,” kata Sofyan lagi.
Apalagi jika burung yang dimaksudkan tidak sampai, maka tidak ada alasan untuk memberikan nilai lebih. “Saya berusaha memberikan nilai sesuai kualitas, meski orangnya teriak, jika memang tidak bagus, saya tidak akan kasih,” sambung juri yang banyak mendapatkan ilmu dari para seniornya.

Lebih lanjut disampaikan bahwa selama ini ilmu tentang menghadapi teriakan peserta seringkali didapatkan. “Saya seringkali diajari tentang mental, kerja yang benar, jangan mikirin punya siapa, teman atau siapapun, kalau memang layak maka harus diberikan nilai sesuai,” ungkap Sofyan lagi.
Slamet Siswoyo Juri Nasional asal Tegal Jawa Tengah mengatakan bahwa kinerja juri yang semakin bagus berawal dari Diklat di Surabaya. “Kinerja juri yang semakin bagus berawal dari Diklat, lalu aturan kita sudah pakai, hitungan 3 – 5 – 7 dan juri koordinator sudah mulai bekerja dengan baik sesuai dengan pakem,” terang Slamet Siswoyo.
Dikatakan juga bahwa peserta sekarang juga sudah paham tentang penjurian, sehingga mereka menerima segala keputusan. “Sekarang juri pakai hitungan jari, sehingga peserta tahu bahwa juri menghitung suara burung. Hitungan suara ditampakkan agar peserta paham karena benar-benar dipantau,” sambung Slamet.
Untuk hitungan bunyi, Slamet mengatakan bahwa tidak semua bunyi yang dikeluarkan burung, bisa masuk hitungan. “Bunyi burung yang masuk hitungan bukan seluruh suara yang dikeluarkan, tetapi suara yang diimbangi oleh kualitas bagus. misal bunyi pertama bagus, bunyi kedua kurang, bunyi ketiga bagus, maka hanya suara bagusnya saja yang dihitung,” tegas Slamet Siswoyo.
Setiyo Wahyudi Juri Nasional Cilacap Jawa Tengah memgaku selalu berusaha menjadi juri pengadil yang baik. “Pada dasarnya saya berusaha menjadi juri yang terbaik, berlaku adil dan fair play meningkatkan kapasitas dan kualitas diri sendiri. P3SI membuat aturan baru diperkuat diklat di Surabaya sampai akhirnya lahir Pakta Integritas,” papar Setiyo Wahyudi.

Lebih lanjut disampaikan bahwa pengurus membuat aturan di perkutut yang tadinya terincikan dengan jelas sekarang menjadi jelas, sehingga saat ini penjurian menjadi semakin lebih baik. P3SI punya aturan di Pakta Integritas, ada 3 – 5 – 7 yang semakin jelas dan baik untuk dijalankan.
“Bahasa tubuh sampai hitungan, menjadi hal yang selalu ditunjukkan, sehingga peserta di luar lapangan menjadi paham bahwa apa yang kami lakukan sudah jelas, juri makin nyaman untuk menjalankan tugas dengan baik. Hitungan dan bahasa tubuh lebih meredam kegaduhan di luar,” sambung pria yang akran dipanggil Wahyu.
Moch Zaenal Juri Nasional Bandung Jawa Barat menuturkan bahwa saat ini semua sudah jelas. “Sekarang semua sudah jelas, ada AD/ART kemudian diwujudkan dengan adanya Pakta Integritas,” tegas Moch Zaenal. Lebih lanjut disampaikan bahwa Pakta Integritas bukan sekedar hasil karya, tetapi sebuah perjanjian dan komitmen yang dibuat oleh kelompok untuk melakukan tanggung jawab yang jujur, transparan dan bertangungjawab.
Ditambahkan pula bahwa Pakta Integritas adalah janji untuk melakukan sesuatu yang baik dan menghindari KKN. “Saya kira juri sudah melaksanakan Pakta Integritas. Juri menilai apa adanya dan bukan ada apanya, larinya ke hati nurani. Saat ini fair play bukan moto saja tapi sudah dilaksanakan,” ungkap Moch Zaenal.